Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tata kelola dan penanganan kejahatan siber menjadi salah satu agenda yang didorong Indonesia dalam Presidensi G20. Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G. Plate menyatakan, isu tersebut menjadi substansi pembahasan yang sangat penting.
Melihat hal ini, pakar keamanan siber dari Vaksin.com Alfons Tanujaya menilai, Presidensi G20 dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki tata kelola dan penanganan kejahatan sibernya. Pasalnya, dalam kegiatan ini, Indonesia bisa belajar penanganan kejahatan siber yang ideal dari dari negara-negara maju, khususnya yang ada di kawasan Eropa Barat.
Menurut dia, negara-negara di Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa menjadi kiblat dunia dalam menentukan kebijakan keamanan siber.
"Sebenarnya berlakunya hanya di Eropa Barat tapi jadi standard dunia. Peraturan tentang penanganan kejahatan siber best practice-nya mengacu ke sana," kata Alfons saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (11/7).
Baca Juga: G20 Jadi Momentum untuk Jalin Kerjasama Tangani Kejahatan Siber
Alfons menyampaikan, Uni Eropa mempunyai Undang-Undang (UU) penanganan kejahatan siber yang jelas. Sebagai contoh, UU yang berisi penanganan data pribadi berlaku di seluruh Eropa dengan penyusunan peraturan yang tak berlarut-larut dan diterapkan secara konsisten.
Dengan posisi Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20, Indonesia akan mempunyai banyak keuntungan karena bakal didengarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam forum kerja sama multilateral ini. Negara-negara tersebut akan menyambut kerja sama yang ditawarkan Indonesia sehingga momentum ini perlu dimanfaatkan secara maksimal.
Lebih lanjut, dalam prinsip security, cara untuk menjadi lebih aman adalah dengan adanya keterbukaan. Sayangnya, menurut Alfons, banyak kasus kejahatan siber di Indonesia yang berusaha untuk ditutup-tutupi oleh institusi tertentu. Mungkin karena merasa malu atau takut dianggap tidak mampu dalam mengelola akses digital.
Baca Juga: Soroti Kripto Spekulatif, Dewan Stabilitas Keuangan G20 Usulkan Aturan Global Kuat
Padahal, praktik yang baik dalam menangani kejahatan siber seperti peretasan dan kebocoran data adalah dengan mengungkapkan informasi dengan sejelas-jelasnya. "Kebocoran datanya karena apa, diterobos dari mana, sudah diperbaiki atau belum. Supaya semua bisa belajar bagaimana cara pencegahannya," ungkap Alfons.
Alfons mengatakan, institusi yang terlibat dalam tata kelola dan penanganan kejahatan siber di Indonesia harus mau terus belajar dan mengembangkan diri. Para lembaga tersebut juga perlu jujur dan memaksa para institusi terkait untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
Ada tiga kejahatan siber yang menurut Alfons penting sekali untuk diperbaiki penanganannya, yaitu kejahatan keuangan siber, kebocoran data pribadi, dan peredaran berita bohong akibat meningkatnya tensi politik.
Baca Juga: Presiden Terima Kunjungan Kehormatan Menteri Luar Negeri RRT
Menjelang Pemilihan Presiden 2024, Alfons meyakini akan banyak akun-akun buzzer, scam, spam yang bertebaran di dunia maya. Hal-hal seperti ini perlu dicermati dan diwaspadai oleh para institusi yang berwenang.
"Kalau misalnya terjadi kebocoran data yang masif, lalu bisa dieksploitasi oleh orang dengan tujuan politik tertentu, itu bisa mengubah arah politik negara dan berpotensi menghancurkan negara," ungkap Alfons.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak mudah percaya dengan berita bohong yang diedarkan untuk memecah masyarakat menjadi kubu yang berlawanan. Pastikan informasi tersebut berasal dari media yang terpercaya, jangan langsung percaya yang bersumber dari pesan WhatsApp, Twitter, Facebook, maupun media sosial lainnya. Selalu cek fakta terlebih dahulu sebelum membagikannya ke orang lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News