Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Terdapat empat agenda prioritas yang akan dibahas dalam pertemuan antar Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (FMCBG) untuk kali kedua di Washington DC, Amerika Serikat, 20 April 2022.
Momen penting ini berkaitan dengan Presidensi G20 Indonesia dan merupakan bagian dari agenda pertemuan Jalur Keuangan.
Empat agenda prioritas yang akan dibahas mencakup perkembangan ekonomi global dan risikonya, isu kesehatan global, arsitektur keuangan internasional, dan pembiayaan berkelanjutan.
Baca Juga: Upaya Diplomasi Sukseskan G20
Dari keempat agenda tersebut, terdapat dua isu prioritas yang akan dibahas pada pertemuan kali kedua yang digelar antar Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yaitu modalitas pembiayaan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon (Prevention, Preparedness and Response/PPR) terhadap pandemi di masa depan dan peningkatan instrumen keuangan berkelanjutan.
Co-Chair Joint Finance and Health Task Force (JFHTF) Wempi Saputra mengajak negara anggota G20 untuk berdiskusi secara produktif mempersiapkan modalitas pembiayaan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon (Prevention, Preparedness and Response/PPR) yang akan diangkat pada FMCBG kedua di bulan April ini.
“Pertemuan ke-3 G20 JFHTF hari ini harus dapat memberikan rekomendasi kepada para Menteri untuk menyusun mekanisme keuangan baru, serta bagaimana menerapkannya,” ujar Wempi dalam keterangan persnya, Senin (18/4).
Hal ini senada dan mendukung Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sudah mengungkapkan hal serupa pada Februari 2022. Menurutnya, sudah harus terjadi peningkatan kesadaran dan aksi nyata akan pentingnya keberadaan skema pembiayaan kesehatan global yang merujuk kepada pengalaman-pengalaman dunia menghadapi krisis kesehatan.
"Kita sudah bergerak dan mengedepankan investasi dalam hal PPR pandemi sejak merebaknya virus SARS dan Ebola beberapa tahun kebelakang. Sudah banyak laporan dan penelitian yang menggarisbawahi peran krusial dari pembiayaan domestik dalam mengatasi pandemi yang terjadi secara berulang dengan nilai signifikan," ungkap Sri Mulyani.
Meski begitu, terdapat empat gap besar yang harus ditangani untuk mencapai kondisi ideal sebagaimana diharapkan. Pertama, surveilans dan penelitian jaringan global untuk mencegah dan mendeteksi penyakit menular yang baru muncul.
Kedua, sistem kesehatan nasional yang tangguh untuk memperkuat landasan penting bagi kesiapsiagaan dan respons pandemi global.
Ketiga, pasokan, tindakan, dan alat medis untuk tersedia secara cepat untuk radikal mempersingkat waktu respons terhadap pandemi dan memberikan akses global yang adil. Keempat, tata kelola kesehatan global untuk memastikan sistem yang kuat ketat, pendanaan yang tepat, dan hasil yang terukur/akuntabel.
WHO memprediksi biaya yang dibutuhkan satu negara untuk pulih dari pandemi adalah sekitar USD26,4 miliar per tahun. Biaya terbesar diperkirakan untuk investasi surveilans, collaborative intelligence, dan deteksi dini, yakni sebesar US$10,4 miliar per tahunnya.
Selain itu, pertemuan ini juga merupakan wujud komitmen penuh G20 terhadap prinsip ekonomi berkelanjutan sebagaimana tercermin dalam pertemuan ketiga Sustainable Finance Working Group (SFWG) pada 30-31 Maret 2022.
Baca Juga: Jepang Akan Menghadiri Pertemuan G20, Enggan Komentari Partisipasi Rusia
Pertemuan tersebut mendiskusikan instrumen keuangan berkelanjutan untuk memperkuat aksesibilitas dan keterjangkauan, termasuk diskusi tentang akses ke pasar keuangan berkelanjutan global, mekanisme pengurangan risiko untuk instrumen keuangan berkelanjutan, dan mengatasi kesenjangan pengetahuan terkait instrumen keuangan berkelanjutan, terutama bagi pemangku kepentingan terkait di negara berkembang dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pertemuan juga membahas kemajuan G20 Sustainable Finance Roadmap.
“Presidensi G20 Indonesia akan meningkatkan instrumen keuangan berkelanjutan. Dalam hal ini, peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan akan menjadi prioritas. Hal ini sejalan dengan tujuan untuk menyiapkan serangkaian rekomendasi dan opsi sukarela tentang bagaimana perusahaan lintas yurisdiksi, terutama di negara berkembang dan UKM, dapat mengakses pasar keuangan hijau dan berkelanjutan secara terjangkau,” ujar Dian Lestari, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan dalam pembukaan pertemuan ketiga SFWG.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News